Langsung ke konten utama

Pembelajaran bahasa inggris di Indonesi

PENGAJARAN bahasa Inggris di Indonesia lebih banyak menghafal ketimbang memahami. Hal tersebut dirasakan kurang mendukung dalam mempersiapkan seseorang untuk dapat menggunakan bahasa Inggris dalam perbincangan dengan orang lain dan untuk urusan akademis. Dampaknya sangat dirasakan ketika menjalani tes TOEFL model baru bagi yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri.

Demikian dikemukakan Tom Randolph, US English Language Fellow dalam diskusi ‘TOEFL Next Generation’ yang diselenggarakan American Corner Perpustakaan UGM di Ruang Seminar Lantai 3 Gedung Perpustakaan UGM Bulaksumur. Diskusi yang diikuti guru, mahasiswa dan pustakawan ini, digelar hari Jumat (17/3) dan dilanjutkan dengan kunjungan ke SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta Jl Kapas Kota Yogyakarta.

Menurut Tom Randolph, TOEFL menjadi penting sebagai tolok ukur kemampuan seseorang dalam berbahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi tentunya sangat diharapkan oleh universitas. Jika ingin sukses, persiapan TOEFL perlu dilakukan sejak seseorang duduk di bangku sekolah. Saat ini menurut Tom terjadi perubahan model dalam tes TOEFL. “Kalau sebelumnya hanya terdiri atas 3 macam bagian dalam tes TEOFL, seperti Listening, Structure danm Reading, maka alam model baru ditambah dengan Spekaing dan Writing. Hal ini untuk melengkapi siswa dalam kerja perkuliahan di luar negeri dan mendekatkan siswa pada kehidupan nyata pada dunia kampus di luar negeri. Yang baru dalam tes ini speaking dan writing,” kata Tom.

Lebih lanjut kata Tom, beberapa perubahan dalam model tes ini mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi guru untuk mulai mengubah metode pengajaran bahasa Inggris, jika menginginkan siswanya siap menghadapi tuntutan internasional dalam penguasaan bahasa Inggris.

Ketika berkunjung ke SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta mendapat renspons yang bagus. Para siswa merespons dengan baik kedatangan Tom diwarnai pula dengan berbagai pertanyaan problematik pendidikan setingkat SMA di Amerika Serikat. Menurut Tom di sana juga ada problematik terutama untuk sekolah publik atau pemerintahan. “Bedanya kalau SMA di Amerika Serikat itu setelah tamat SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, di Indonesia tidak semuanya”, ungkap Tom.

Tom dan rombongan sempat ‘mengajar’ di Ruang Laboratorium Bahasa, Multi Media dan kebetulan kelas 2 IPA3 sedang menggunakan lab bahasa untuk pelajaran. Saat itu, Tom dipandu guru bahasa Inggris dan peserta kursus Rohmatunnazilah dan Erna Purnamawati mengunjungi pula ruang kelas XI/2 IPS1 yang kebetulan sedang mendapat pelajaran bahasa Inggris.

Di Perpustakaan SMA Muhamamdiyah 2 Yogyakarta rombongan Tom menyaksikan para siswa sedang berkunjung ke perpustakaan. Rata-trata perpustakaan ini dikunjungi lebih dari 100 siswa setiap harinya, kadang guru membawa muridnya masuk ke perpustakaan untuk diskusi materi pelajaran yang sudah disampaikan di kelas. Banyak guru yang memberi tugas perpustakaan (Humas UGM).